Jumat, 22 April 2016

Efek Internet of Things pada Rumah Kaca Tanibox

Efek Internet of Things pada Rumah Kaca Tanibox
 
Seperti kebanyakan masyarakat perkotaan, Asep Bagja Priandana dan Retno Ika Safitri terbiasa membeli sayuran di supermarket. Pasangan suami istri ini sering menemukan kalau sayuran yang mereka beli kurang segar. Harganya pun mahal, terutama untuk sayuran hidroponik. Mereka akhirnya memutuskan untuk menanamnya sendiri pada rumah kaca yang telah dilengkapi teknologi Internet of Things (IoT).
Asep dan istri mendirikan Tanibox pada pertengahan 2015, startup asal Tangerang Selatan yang menjual perlengkapan bertanam hidroponik. Namun perlengkapan yang ditawarkan belum mendapat sentuhan teknologi, karena memang lebih diperuntukan sebagai hiasan di rumah.
Asep-Bagja-Priandana-dan-Retno-Ika-Safitri-
Asep Bagja Priandana dan Retno Ika Safitri
Dalam blognya, developer perangkat lunak ini mengatakan kalau sistem hidroponik ternyata sangat tepat untuk implementasi sensor dan machine learning IoT, karena ada banyak data yang dihasilkan seperti temperatur udara dan air, kelembapan, EC (electric conductivity) air, dan pH (derajat keasaman). Hal ini mendorong munculnya ide untuk membuat proyek indoor and automated farming, yaitu pertanian vertikal dalam ruangan yang terotomatisasi.
Proyek tersebut sedang dalam tahap penggalangan dana di situs crowdfunding Indiegogo. Dari target dana sebesar US$10.000 (sekitar Rp131 juta) yang diharapkan, Asep berencana membangun sistem rumah kaca hidroponik berbasis IoT yang efisien.
Teknologi IoT tersebut nantinya akan direplikasi dan dijual kepada publik, khususnya mereka yang tinggal di perkotaan. Asep mengatakan, jika sistem pertanian ini berhasil direalisasikan, dampaknya akan sangat bermanfaat. Tidak hanya bagi orang-orang yang menggunakannya, tetapi juga masyarakat sekitar.
Lewat proyek ini, Tanibox ingin membuktikan pada masyarakat bahwa memproduksi bahan pangan segar seperti sayuran bisa dilakukan di dalam ruangan yang terkontrol oleh sistem. Selain itu, startup ini juga ingin memecahkan masalah distribusi pangan yang terlalu jauh—sehingga menurunkan nutrisi yang terkandung dalam bahan pangan, serta memanfaatkan lahan-lahan kosong yang ada di perkotaan.
sayuran-rumah-kaca-tanibox
Berbagai tanaman hidroponik yang telah ditanam Asep dan Retno
Asep mencontohkan jika ada pertanian dalam ruangan di area SCBD atau Mega Kuningan, Jakarta, pelaku bisnis F&B di sekitar wilayah itu bisa mendapatkan suplai produk segar dengan kandungan gizi yang masih tinggi, sambil memangkas biaya distribusi.
Sekarang bayangkan jika orang-orang menggunakan sistem ini di rumahnya. Ketika ada hasil produksi yang tersisa, mereka bisa menjualnya ke tetangga. Ini adalah bentuk sharing economy yang sesungguhnya.
Baca juga: Bagaimana Perkembangan Internet of Things di Indonesia?

Mengatasi tantangan biaya

Penerapan teknologi IoT pada sistem hidroponik bukan tanpa kendala. Asep sendiri telah menyadari isu utamanya, yaitu biaya. Salah satu tujuan bercocok tanam sendiri adalah memutus rantai distribusi yang membuat harga sayuran menjadi mahal. Ketika sistem pertaniannya menggunakan automated technology, tentunya di awal pengguna perlu mengeluarkan investasi yang besar.
asep-bagja-priandana
Asep sedang membuat pipa Nutrient Film Technique, salah satu metode hidroponik
Di laman Indegogo proyek Tanibox, pelengkapan yang diperlukan memang beragam. Selain rumah kaca dan perlengkapan bercocok tanamnya sendiri, peralatan dasarnya antara lain sensor dan komponen untuk mengukur EC dan pH, temperatur dan kelembapan, CO2, cahaya, lampu LED, solenoid valve (katup yang digerakkan oleh energi listrik), saklar, serta microcontroller.
Selama setahun belakangan, Asep dan Retno menggunakan dana pribadi dan keuntungan penjualan produk Tanibox untuk dipakai membeli peralatan penelitian. Namun, jika mengandalkan dana yang terbatas, pengembangan sistem indoor and automated farming bisa memakan waktu bertahun-tahun. Itulah alasan kenapa Tanibox membawa proyek ini ke Indiegogo.
Selain itu, sangat mungkin jika harga produk akhirnya nanti akan menjadi hambatan bagi masyarakat yang ingin menggunakan sistem indoor and automated farming ini. Asep menuturkan, masalah biaya dan modal awal yang besar untuk berhidroponik secara serius memang tidak bisa dihindari.
Akan tetapi ini bisa diminimalkan dengan metode tanam atau sistem hidroponik yang tepat, sehingga benar-benar bisa menghemat listrik dan air. Lalu, Asep menambahkan, memang sebaiknya menanam sayuran-sayuran yang memiliki nilai jual tinggi, atau berusaha menaikkan standar kualitas hasil panennya.
Kami percaya bahwa masa depan pertanian urban adalah menggunakan teknologi dan berada di dalam ruangan, bukan lagi sekadar memanfaatkan lahan kosong yang belum dipakai. Dan suatu hari nanti, akan ada lebih banyak rumah yang dapat memiliki kebunnya sendiri, untuk mencukupi kebutuhan nutrisi sayuran yang diperlukan anggota keluarga.
Jika kamu ingin mendukung proyek indoor and automated farming Tanibox, kamu dapat mengunjungi laman Indiegogo berikut ini:
(Diedit oleh Pradipta Nugrahanto)

Sumber: https://id.techinasia.com/efek-internet-things-pada-rumah-kaca-tanibox#comments-165043
Analisa : Semakin banyak inisiatif serupa yang pada akhirnya membuat kita sadar bahwa krisis seperti ini hanya bisa selesai apabila kita semua mulai bertindak.

2 komentar:

  1. I am very interested in the information contained in this post. The information contained in this post inspired me to generate research ideas.
    visit us

    BalasHapus